CAKRAMANGGILINGAN

berputar, mengikuti yang sudah ditetapkan

Sekolah

Sinau sik pinter, sinau sik bener,” (belajar yang pintar, belajar yang benar_Bahasa Jawa) demikian Bapak saya, Bapak kami bertiga, selalu menasihati kami selama sekolah. Meski kami tidak mendengarnya ketika kami masuk universitas, tapi kami selalu ingat nasihat sederhana beliau.

Dua hari yang lalu, adik saya wisuda setelah menempuh pendidikan S1 di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Ibu saya di telepon terdengar sangat bersyukur dan bergembira, sebab tugasnya menyekolahkan ketiga anaknya telah usai. Saya pun kemudian ingin bersyukur dengan berbagi pengalaman kami.

Kakak saya tidak lolos Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) selepas dari SMU. Namun Bapak dan Ibu saya tidak ingin kakak saya tidak sekolah. Sesuai bidang yang diinginkan, kakak saya memilih masuk ke Sekolah Tinggi Ekonomi Yayasan Keluarga Pahlawan Negara (STIE YKPN) Yogyakarta, universitas swasta yang berkonsentrasi di bidang ekonomi. Dengan profesi buruh petani, Bapak dan Ibu saya cukup berani mengambil resiko untuk menyekolahkan kakak saya di universitas swasta. Yang mana, biayanya cukup wow pada saat itu. Bapak dan Ibu saya pekerja keras. Tanaman tembakau menjadi tumpuan utama tahunan bagi pundi ekonomi keluarga kami. Sehingga, uang semesteran kakak saya bisa diatasi melalui hasil tanam tembakau. Akan tetapi, tahun 1998, saat Presiden Soeharto dilengserkan dari jabatannya, harga tembakau menukik tajam. Saya tidak tahu bagaimana Bapak dan Ibu sangat tangguh melewati fase kesulitan ekonomi itu. Bahkan tahun-tahun setelahnya pun, harga tembakau tak kunjung kembali membaik. Kakak saya tahu benar kesulitan orang tua kami. Ia belajar lebih giat, sehingga lulus dalam kurun waktu 3,5 tahun. Ibu saya menangis tersedu. Dalam rasa syukur itu, Ibu saya menyebut kakak saya sebagai anak mbako (anak tembakau_Bahasa Jawa). Tidak disangka, kakak saya menemukan jodohnya di universitas itu. Sekarang mereka dikaruniai dua putri. Kami semua bersyukur.

Tiba giliran saya masuk universitas. Saya pikir Ibu akan membiarkan saya masuk Universitas Atmajaya Yogyakarta karena pilihan bidang studi saya. Namun, begitu pengumuman UMPTN menyatakan saya diterima di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Ibu langsung menyembelihkan ayam dan membuat syukuran, “wis, ketrima dongane Ibu, kowe sekolah neng negeri,” (doa Ibu terkabul, kamu sekolah di universitas negeri_Bahasa Jawa) kata Ibu sambil mengelus-elus kepala saya. Padahal dalam hati saya sedikit mengeluh, “ah….pertanian. Bapak saya petani, dari kecil saya hidup di tengah-tengah petani, lalu saya harus belajar pertanian pula. Huh!”. Lalu, tak lama kemudian sisi lain hati saya berkata, “la sing milih pertanian ki sopo? Po Bapak ngakon kowe sinau pertanian? Milih dewe to? Yo tanggung jawab!” (yang memilih pertanian itu siapa? Apakah Bapak menyuruhmu belajar pertanian? Kamu pilih sendiri kan? Tanggung jawab lah!_Bahasa Jawa). Dan saya menjawab pilihan saya dengan belajar sebaik mungkin. Meski kemudian saya menemukan keasikan dalam olah raga Karate. Sampai-sampai saya menyetujui moto pelatih saya bahwa jangan sampai kuliah menggangu karate. Hahaha. Dan benar saja. Saya lulus kuliah S1 dalam kurun waktu 5,8 tahun setelah berkelakar dengan banyak alasan mengikuti pertandingan karate. Lama ya. Tapi saya bersyukur dengan semua pengalaman yang saya kantongi. Lalu, bagaimana orang tua saya membiayai kuliah saya? Pada saat saya sekolah di universitas, tembakau tidak bisa lagi diandalkan. Bapak dan Ibu saya berkonsentrasi pada ternak babi. Hanya beberapa ekor. Tapi cukup untuk membiayai hidup dan kuliah saya. Saya dapat beasiswa selama kuliah, plus uang bonus kalau menang pertandingan. Dan lagi kakak saya yang sudah bekerja ikut mendukung. Pada akhir masa sekolah saya di UGM, saya menemukan hal terpenting yang hanya menjadi milik saya. Sama seperti kakak saya yang puas lulus 3,5 tahun, saya pun puas berprestasi di karate dan akademik (lulusan terbaik Jurusan Ilmu Hama Penyakit Tumbuhan). Ibu saya kembali tersedu. Kali ini ia memanggil saya sebagai anak babi (ah, ketiban rejeki nama nih saya). Apalagi prestasi akademik saya berlanjut dua tahun setelah kelulusan saya. Tuhan memberikan jalan pada saya untuk melanjutkan masa belajar di tanah kelahiran Samurai. Melalui berbagai macam cerita belajar di negeri orang, saya sukses lulus tepat 2 tahun. Saya sangat bersyukur. Terlebih lagi tanpa dinyana, saya bertemu jodoh saya di Ibaraki University, tempat saya belajar. Kami menikah tahun lalu dan tinggal di Hokkaido, Jepang. Kami semua bersyukur.

Kakak saya dan saya beda usia 6 tahun. Sedangkan saya dan adik saya beda usia 8 tahun. Ketika dia masuk universitas, saya dan kakak saya serasa bernostalgia dengan istilah-istilah dan memori-memori kuliah di Jogja. Ternyata jaman berbeda. Nilai uang juga sudah jauh berbeda. Demikian juga dengan biaya untuk sekolah adik saya. Demi sekolah adik saya (terlebih saat dia SMA), Ibu menjual kalung dan gelang emasnya. Namun, kami sangat bersyukur. Di universitas, adik saya yang notabene mengambil jurusan Theologi, mendapat dukungan finansial penuh dari Keuskupan Purwokerto (lingkupan wilayah gereja tempat kami tinggal). Rasa syukur ini diterima dan diekspresikan adik saya dengan cara belajar dengan sungguh-sungguh. Walhasil, dia menerima ijasah S1 sekaligus selempang kuning bertuliskan Cum Laude. Ibu saya tidak lagi tersedu, tapi tersenyum sangat bahagia sambil menyebut adik saya sebagai anak emas (la ini! namanya cantik!). Saat ini adik saya tengah belajar menjadi guru di SMA tempat dia belajar dulu. Kami semua bersyukur.

img_7548

kakak-saya-adik diwisuda (ilustrasi)

 

Semangat Bapak dan Ibu saya untuk menyekolahkan kami bertiga berbuah. Kami bertiga lulus dari universitas dengan cerita masing-masing dan berkarya dengan kemampuan masing-masing. Meski tidak ada yang jadi pengusaha, bos, dosen, orang kaya, dan cita-cita lain yang dikriteriakan “sukses”, kami bertiga memenuhi keinginan Ibu, “sekolah, sekolah, men ora kaya Bapak karo Ibumu,” (sekolah, sekolah, biar gak kayak Bapak dan Ibumu_Bahasa Jawa). Lagipula, kami menemukan jalan hidup kami yang jauh lebih baik dari yang kami duga karena sekolah. Benar kata kakak saya, “sekolah ki ming golek selembar kertas,” (sekolah itu hanya untuk mencari selembar kertas_Bahasa Jawa). Tapi kami belajar bahwa proses untuk mendapatkannya memberikan kejutan-kejutan luar biasa dalam hidup kami setelah lulus sekolah.

Salam Ayo Sekolah!

One comment on “Sekolah

  1. Pingback: Pria-pria di balik emansipasi saya | CAKRAMANGGILINGAN

Leave a comment

Information

This entry was posted on October 18, 2016 by in Special.