CAKRAMANGGILINGAN

berputar, mengikuti yang sudah ditetapkan

Sugeng tindak kondur, Om Bejo

Sebagai bocah, aku tidak mengenal Om Bejo meski kami satu desa. Baru kukenal Om Bejo setelah beliau menikah dengan Bulek Rosa, adik dari Ibuku yang paling bontot. Sebagai bocah juga, aku tidak dekat dengan Om Bejo. Baru setelah aku lulus S1, aku mulai dekat dengan beliau. Dari kedekatanku, aku sedikit banyak dididik beliau.

Menyandang gelar S1, aku mulai mencai kerja. Sebenarnya gak ada niat kerja di Jakarta karena tidak begitu suka kesumpekan. Beberapa teman menyarankan untuk mencoba nyari kerja di Jakarta, yang notabene punya peluang kerja yang lebih besar. Apa mau dikata, aku pergi juga ke Ibu Kota. Om Bejo yang menerimaku untuk tinggal sementara di rumah beliau, sampai aku dapat kerja. Waktu itu Evan, anak sulung Om Bejo, masih SD dan Nathan belum genap setahun umurnya. Jadi, hitung-hitung sambil momong sepupu, kata Om Bejo. Suatu sore kami ngobrol tentang jodoh. Om Bejo menasihatiku, begini kata beliau, “buka pertemanan pada siapa saja. Jodoh itu akan datang dari antaranya. Tapi ingat, Fit. Anak perempuan itu sudah lebih dari berharga, meskipun gak bawa apa-apa”. Meski pada akhirnya aku memutuskan kembali ke Jogja, karena usaha cari kerja nihil, nasihat Om Bejo itu kubawa terus.

Adalah kemudian aku pulang dari Jepang dengan gelar S2. Tepat seminggu kemudian, sepupuku menikah. Kami bertemu lagi. Setengah bercanda, Om Bejo bilang, “ngapain sih si Fita ke Jepang segala?! La mbok mending bisnis kalo punya modal. Dua tahun di Jepang gak dapat apa-apa. Dua tahun bisnis duit-e wis manak (uangnya sudah beranak_Bahasa Jawa)”. Waktu itu Om Bejo memang berbisnis warung kelontong di Jogja, setelah pindah dari Jakarta beserta Bulek, Evan, Nathan, dan Laras. Sudah pasti jiwa pebisnis beliau sedang kental saat itu. Mengingat sepupuku yang menikah itu setahun lebih muda daripadaku, terjadilah gonjang ganjing. Pertanyaan-pertanyaan klasik yang memojokkan: “mbak Ita kapan?”, “kamu gak punya pacar po?”, “hayo…ngko kedisikkan mas xxxx lo (nanti keduluan mas xxxx lo_Bahasa Jawa; mas xxxx itu 7-8 tahun lebih muda dariku”, dsb. Aku lari pada Om Bejo, mengadu. Nasihat beliau singkat, “la Fita, karepe prige? Nek wis ana rencana, mbok wis manteb wae. Arep wong omong apa. (la Fita, maunya gimana? Kalau memang sudah punya rencana, mantab saja. Apapun kata orang)”. Dan begitulah, aku mantab dan lurus pada pilihanku, yaitu menikah pada waktunya. Dua tahun setelah menikah, aku berkesempatan pulang. Tak bisa kutemui Om Bejo secara langsung, kami hanya ngobrol melalui telfon. “Fita keluarga-ne dijaga ya” begitu nasihat beliau.

Om Bejo niku ususe dawa, atine sakambane segara.

Kalau diartikan dalam Bahasa Indonesia: Om Bejo itu sosok penyabar yang luar biasa. Tapi kesabaran Om ternyata ada pengecualian, yakni waktu gak nemu pasangan kaos kaki di antara tumpukan jemuran kering. Akhirnya dan setiap kali, Om selalu ambil kaos kaki baru dari warung. Meski begitu, Om selalu juga laporan ke Bulek.

Terima kasih sudah turut mendidikku, Om. Terima kasih sudah boleh belajar tentang keluarga dengan boleh menumpang hidup sebentar di rumah. Terima kasih sudah boleh melihat Om dari banyak sisi dan belajar. Selamat kembali ke rumah, Om Bejo. Beristirahatlah dengan tenang di dalam pelukan Bunda Maria.

Leave a comment

Information

This entry was posted on July 23, 2021 by in Special.

Navigation