CAKRAMANGGILINGAN

berputar, mengikuti yang sudah ditetapkan

Cinta, Agama, dan Negara

IMG_5286

Judulnya memberi kesan bahwa ada kisah cinta segitiga antara cinta, agama, dan negara. Demikianlah tulisan ini saya buat untuk membagi pengalaman saya tentang kisah cinta segitiga tersebut. Tulisan ini juga sebagai keterangan tambahan tulisan saya yang lalu tentang “Menikah berbeda agama dengan warga Negara Jepang di Kabupaten Wonosobo”.

“Lo, beda agama, kok boleh menikah?” demikian reaksi yang saya peroleh ketika berbincang dengan teman. Justru karena pertanyaan tersebut, saya tergelitik untuk bertanya juga “mengapa tidak boleh?”

Negara kita memiliki 6 agama yang diakui (setahu saya^^). Masing-masing memiliki peraturan dan ketentuan tentang pernikahan umatnya. Saya seorang Katholik dan suami saya seorang Budha. Seperti yang saya ungkapkan pada tulisan saya yang lalu, kami berdua setuju untuk melaksanakan pernikahan agama secara Katholik, maka kami mengikuti peraturan dan ketentuan hukum Katholik. Kami mendapatkan surat dispensasi dari gereja yang digunakan sebagai salah satu persyaratan (surat keterangan dari pemuka agama) ke kantor Catatan Sipil Kabupaten Wonosobo (Cat. Sipil Kab. Wonosobo). Meski demikian, sebagai Warga Negara Indonesia (WNI), saya hidup di bawah naungan hukum negara. Salah satu yang diatur adalah hukum tentang pernikahan. Dibalik pengalaman saya ini, sebenarnya tadinya saya tidak tahu kalau menikah beda agama harus minta ijin negara terlebih dahulu ^^ Oleh karena itu, semuanya menjadi serba bikin dag-dig-dug-duer !!

Ketika mengajukan permohonan pencatatan pernikahan di kantor Catatan Sipil Wonosobo, petugas memberi keterangan bahwa pernikahan beda agama TIDAK BISA DICATATKAN TANPA SURAT PERINTAH DARI NEGARA. Surat perintah tersebut merupakan surat dispensasi/ijin dari Negara Republik Indonesia (RI) untuk menikah secara berbeda agama. Surat tersebut dapat diperoleh di Pengadilan Negeri (PN) Kabupaten Wonosobo. Maka kemudian petugas kantor Catatan Sipil memberi memo supaya menemui salah satu panitera di PN Kab. Wonosobo. Berdasarkan memo tersebut, saya pergi menghadap panitera yang ditunjuk.

*Kali pertama (Jumat, 29 Mei 2015) saya datang menghadap tersebut, saya dan Bapak saya mendapatkan keterangan proses mendapatkan surat dispensasi/ijin yang dimaksud, yaitu;

  1. Mengajukan surat permohonan ijin nikah kepada kepala PN Kab. Wonosobo
  2. Menerima surat panggilan sidang
  3. Sidang
  4. Mendengarkan keputusan sidang
  5. Menerima surat keputusan berupa surat dispensasi/ijin dari negara untuk pihak pemohon dan surat perintah untuk Kantor Cat. Sipil Kab. Wonosobo

Kelima proses tersebut tentu saja tidak bisa terpenuhi dalam sehari. Mungkin memakan waktu berbulan-bulan (?). Namun, dalam kasus saya ini, sungguh Tuhan berbaik hati meluluskan semuanya dalam kurun waktu yang pendek.

Bapak Panitera (petugas PN yang tidak perlu saya sebut namanya) menjelaskan bahwa pengajuan permohonan perkara disampaikan melalui surat resmi. Beliau berbaik hati untuk menyusunkan surat permohonan tersebut. Isinya menyatakan bahwa

‘saya sebagai pemohon mengajukan permohonan ijin nikah berbeda agama dengan alasan bahwa saya mengenal calon suami dan berniat untuk menikah, rencana kami ini telah diketahui dan disetujui oleh orang tua kedua pihak. Pernikahan akan dilangsungkan di Wonosobo secara Katholik. Oleh sebab itu, sebagai dasar melangsungkan pernikahan karena beda agama ini pemohon mengajukan ijin dari negara melalui PN Kabupaten Wonosobo untuk menikah secara sah menurut hukum. Permohonan mengacu pada Pasal 7 jo. Pasal 6 ayat (5) Undang-undang Pokok Perkawinan No.1 Tahun 1974 jo. Pasal 35 huruf (a) Undang-undang No.23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan beserta penjelasannya’

Dasar yuridis pengajuan ini belum pernah saya cek (^^ o’ow!)

*Kali ke-dua (Senin, 1 Juni 2015) saya datang untuk mengajukan permohonan. 

Saya diminta untuk membaca dan meneliti surat pengajuan permohonan dengan hati-hati. Surat yang sudah diteliti dengan benar diberi materai Rp 6000, ditandatangani oleh saya, disahkan, dan digandakan empat kali. Tiga paket fotokopian untuk proses sidang dan administrasi negara, satu paket untuk saya, dan yang asli diajukan kepada kepala PN Kab. Wonosobo. Materai Rp 6000 dan pengesahan juga dibubuhkan di atas dokumen-dokumen persyaratan pernikahan ke Cat. Sipil Kab. Wonosobo yang digunakan sebagai bukti persiapan pernikahan dalam sidang kemudian. Jadi bisa dibayangkan, Rp 6000 dikali banyak lembaran, hehe…

Mengapa harus per lembar? Yang saya mengerti dari penjelasan beliau bahwa masing-masing lembaran yang diajukan sebagai bukti bersifat terpisah, maka setiap bukti yang ada perlu dipertanggungjawabkan kebenarannya lembar demi lembar, jadilah pengesahan per lembar ^^

Hal yang membuat saya geli adalah kata pengesahan, yang disebutkan oleh beliau sebagai “leges” (mungkin dari kata legalization). Saya sendiri lebih senang menyebutnya legalisasi. Legalisasi ini dimintakan di kantor pos besar (pusat) Kab. Wonosobo. Karena keingintahuan saya, saya ngobrol dengan petugas kantor pos, kenapa layanan pengesahan dilimpahkan ke kantor pos. Jawabannya klasik, “wah, tidak tahu mbak. Tapi dari dulu kami sudah melayani”. Petugas kantor pos berbaik hati memberi saya kenang-kenangan cap pengesahan bertuliskan LUNAS BEA MATERAI BERDASARKAN UU No.13/1985. Saya males juga tanya mbah google (^^ow!)

Hari itu, saya juga diminta untuk membayar Rp 300.000 ke PN Kab. Wonosobo melalui BRI (bank yang ditunjuk). Lagi-lagi saya harus geli karena istilah biaya yang digunakan, yaitu biaya panjer (dibayarkan di awal, jika sisa dikembalikan, jika kurang ditambah. Apa ya istilahnya dalam Bahasa Indonesianya? Saya gak menemukan ^^). Bukti pembayaran juga difotokopi lalu masing-masing kami mengantonginya.

Semua dokumen yang telah disahkan, diserahkan pada Bapak Panitera. Saya kemudian diminta untuk membawa semua dokumen asli pada persidangan. Dokumen asli harus ditunjukkan pada hakim sebagai bentuk pertanggung jawaban keaslian. Beliau juga memberikan dua opsi tentang pemberitahuan hari sidang, apakah akan melalui pos atau telfon. ‘Bapak ini bercanda,’ begitu kataku dalam hati. “Mohon melalui telfon saja, pak. Sebab saya khawatir tidak ada banyak waktu,” begitu saya menjawab.

*Telfon (3 Juni 2015) dari Bapak Panitera

Hari itu saya mendapat pemberitahuan bahwa kepala PN Kab. Wonosobo menyetujui permintaan saya dan bersedia menyelenggarakan siding untuk saya pada Selasa, 9 Juni 2015 pukul 09.00 WIB. Untuk penjelasan lebih, saya diminta datang.

Syukur saya pada Yang Maha Kuasa, sebab Ia Yang Baik memberikan jalan yang baik.

*Kali ke-tiga (4 Juni 2015) saya datang untuk penjelasan lebih sebelum persidangan

Bapak Panitera mengingatkan saya untuk tidak lupa membawa serta semua dokumen asli saat persidangan. Beliau juga meminta supaya dua orang saksi dalam persidangan (kerabat keluarga saya yang sekaligus menjadi saksi pernikahan kami di gereja) membawa serta fotokopi KTP dan aslinya. Lalu, beliau berbaik hati untuk memberi simulasi pertanyaan tentang calon suami saya, seperti;

“kenapa calon suami tidak datang pada persidangan?” tanya beliau. Saya menjawab, “karena pekerjaannya di Jepang yang tidak memungkinkan dia datang sebelum hari H pernikahan, pak”. Lalu beliau manggut-manggut tanda setuju.

Hari itu pun berlalu. Saya, Bapak dan Ibu saya tak henti bersyukur dan berdoa, semoga persidangan lancer dan terkabulkan.

*Kali ke-empat (9 Juni 2015) merupakan hari persidangan

Bapak Hakim (yang mungkin tidak berkenan jika saya sebutkan namanya) dan Bapak Panitera duduk berdampingan di podium. Saya duduk di kursi pemohon. Dua kerabat keluarga duduk di depan Bapak Hakim sebagai saksi. Bapak dan Ibu saya duduk di kursi hadirin. Persidangan dimulai dengan pembacaan surat permohonan saya, beberapa pertanyaan pada kedua saksi dan saya, waktu untuk saya membuat pernyataan tambahan, dan ditutup dengan penetapan jadwal pembacaan keputusan hasil persidangan.

Calon suami saya pernah datang sebelumnya ke rumah tahun 2014 untuk perkenalan sekaligus lamaran, sehingga mudah bagi kedua saksi menjawab pertanyaan tentang seberapa tahu mereka tentang calon suami saya.

Bapak Hakim yang baik hati memberikan saya kesempatan jika ada pernyataan tambahan untuk menguatkan pengajuan permohonan. Waktu itu saya manfaatkan dengan baik. Kira-kira begini,

“Saya berterima kasih untuk kesempatan ini. Berkaitan dengan beasiswa negara dan kewarganegaraan saya setelah menikah yang diutarakan oleh Bapak Hakim, saya ingin menyampaikan yang sebenarnya. Saya sekolah di Jepang tanpa beasiswa dari negara Indonesia. Meski demikian, saya akan tetap menjadi WNI.”

Ketukkan palu terdengar indah sekali menutup persidangan itu. Saya dan keluarga sangat lega dan bersyukur.

*Kali ke-lima (11 Juni 2015) adalah hari mendengarkan keputusan sidang sekaligus hari midodareni saya

Bisa dibayangkan betapa hebatnya saya, Bapak dan Ibu saya hari itu. Keputusan pengadilan diperdengarkan pada pagi hari. Calon suami dan keluarganya tiba di rumah kami pada siangnya. Kemudian, midodareni dilaksanakan sore hari.

Seperti pada posisi persidangan, kami menempati kursi kami masing-masing. Saksi hari itu tidak wajib datang, maka hanya kami bertiga yang datang mendengarkan. Berlembar-lembar surat keputusan (meliputi dasar-dasar yuridis negara) dibacakan di depan kami. Pada intinya, permohonan saya dikabulkan dan negara memerintahkan Cat. Sipil Kab. Wonosobo untuk mencatatkan pernikahan saya. Kata DIKABULKAN itu masih terngiang-ngiang di telinga saya. Sepertinya merdu sekali. Syukur kembali pada Yang Kuasa.

Bapak Hakim dan Bapak Panitera yang sangat baik hati bersedia untuk langsung memberikan surat keputusan tersebut pada saya dengan catatan tidak ada kesalahan cetak nama, alamat dan identitas penting yang tertulis. Beliau tahu bahwa saya akan menikah besok pagi. Maka, surat keputusan itu perlu dihibahkan pada petugas Cat. Sipil Kab. Wonosobo hari itu, supaya besok pernikahan kami bisa dicatatkan secara sah. Terima kasih pada Yang Maha Baik sekali lagi.

Biaya persidangan tertera di dalam surat keputusan. Jumlah biaya persidangan saya sebesar Rp 151.000 yang diambil dari biaya panjer. Biaya persidangan itu meliputi biaya pendaftaran, pemberkasan, panggilan, materai penetapan, dan redaksi penetapan. Sebelum menerima surat keputusan dan uang sisa, saya dikenai biaya map, materai, dan legislasi yang tidak dituliskan dalam kuitansi. Ketika saya desak, beliau tetap tidak bersedia mengeluarkan kuitansi untuk Rp 88.800 yang dikenakan. Saya simpulkan, saya terkena biaya ilegal ^^.

 

Demikian pengalaman saya di PN Kab. Wonosobo. Saya sangat bersyukur sebab semua proses lancar dan berjalan sesuai dengan waktunya. Kalau Anda masih penasaran, kenapa kok boleh nikah ya? Berikut beberapa landasan hukum yang sedikit saya pelajari selama proses di atas.

  1. Mengapa permohonan persidangan saya diterima oleh kepala PN Kab. Wonosobo?

Terdapat asa lus Curia Novit yang mengharuskan hakim untuk menerima segala perkara yang masuk ke pengadilan meskipun belum jelas dasar hukumnya, termasuk pernikahan beda agama.

  1. Mengapa Cat. Sipil Kab. Wonosobo mau mengarahkan saya untuk minta ijin menikah beda agama pada negara?

Menurut keputusan MA Reg. No. 1400 K/Pdt/1986, kantor catatan sipil berhak memberi izin perkawinan beda agama dan pencatatannya secara sah selama hukum masing-masing agama mengijinkan.

Agama Katholik mengijinkannya dan terlampir dalam surat dispensasi dari gereja.

  1. Mengapa diputuskan kalau permohonan saya dikabulkan?

Pasal 28B UUD 1945 : siapapun boleh berkeluarga dan berketurunan.

Pasal 29 Ayat 2 UUD 1945 : negara menjamin tiap-tiap warga untuk memeluk agama dan kepercayaannya.

Pasal 7 Ayat 2 GHR : perbedaan agama tidak menjadi penghalang untuk menikah.

Pasal 2 Ayat 1 : tidak ada ketentuan larangan menikah beda agama.

Yang bisa menjadi penghalang secara hukum dinyatakan pada Pasal 8 yaitu pernikahan dilarang jika terdapat garis darah dan/atau dilarang oleh agama.

2 comments on “Cinta, Agama, dan Negara

  1. LG
    July 8, 2016

    Congratulation yufita…ternyata rencana demi rencana tersusun dgn rapi dan indah berkat hasil jerh payah yg telah di lalui….bersyukur adalah kunci utama dalam malaksanakan segala aktifitas dan seusai aktifitas….saya menilai anda bukan orang hebat namun andalah yg beruntung berkat doa dan ketulusan serta restu dri dri ayah bunda….congratulation yufita….

    • yufitadwichinta
      August 5, 2016

      Betul, mereka yang mendoakan dan mendukunglah yang hebat. Terima kasih, Om.

Leave a comment

Information

This entry was posted on July 3, 2016 by in Special.