CAKRAMANGGILINGAN

berputar, mengikuti yang sudah ditetapkan

Pria-pria di balik emansipasi saya

Jika istilah ‘di balik kesuksesan pria adalah wanita’, maka saya ingin membuat istilah baru: ‘di balik emansipasi wanita adalah pria’ berdasarkan pengalaman pribadi saya. Dalam rangka memperingati tanggal kelahiran R.A. Kartini, 21 April, yang dikaitkan dengan emansipasi wanita, saya menuliskan pengalaman saya.

Mengutip artikel Arum Sutrisni Putri di Kompas.com tahun 2020 (Pengertian Emansipasi Wanita Halaman all – Kompas.com), emansipasi wanita adalah proses dalam upaya untuk memastikan kebebasan pemenuhan diri dan pengembangan diri bagi wanita. Menurut pendapat saya, pria memegang peranan penting dalam terwujudnya upaya itu. Hal ini tampak terutama pada sosok-sosok pria yang paling dekat dengan sosok-sosok wanita di keluarga kami.

Emansipasi wanita terwujud dalam diri saya, bukan hanya saat ini tapi sudah sejak kecil. Bahkan terwujudnya emansipasi pada saya merupakan wujud emansipasi turun temurun yang diterima Simbok (ibu dari Ibu saya) dan Ibu saya dari Mbah Kakung (bapak dari Ibu saya) dan yang saya terima dari Mbah Kakung dan Bapak saya. Setelah menikah, saya menerima tambahan dukungan emansipasi dari suami dan Ojiisan (kakek dari suami saya).

Foto diambil saat pesta setelah misa Natal

Mbah Kakung, Bapak, Ojiisan, dan suami saya adalah sosok-sosok yang saya kagumi, yang mengedepankan pendidikan dan percaya kalau pendidikan mengubah masa jalan cerita kehidupan. Mbah Kakung menjadi pahlawan pendidikan awal di keluarga kami. Beliau selalu bangga bercerita tentang perjalanan 5 hari mengantarkan Mbah Marto, adik laki-lakinya, ke sekolah keguruan di Semarang. Memakan 5 hari karena angkot (bus mini) sangat jarang dan hanya menempuh jarak dekat, sehingga jalan kaki menjadi andalan utama untuk sampai di tujuan. Mbah Kakung tentu bangga sebab pendidikan tinggi pada saat itu (1???) adalah pencapaian luar biasa. Apalagi Mbah Marto menjadi guru sukses di desa kami. Kata Bapak yang dulu jadi murid Mbah Marto, beliau ditakuti karena ngajarnya galak (^^). Mbah Kakung juga menyekolahkan Ibu saya sampai SMP, jenjang pendidikan yang cukup tinggi untuk anak gadis pada jamannya (1960-an/1970-an). Alhasil, Ibu punya banyak pengalaman dan kolega dengan berbagai latar belakang pekerjaan yang membuat Ibu menjadi sosok wanita yang penuh percaya diri. Tidak heran dari mana saya dapatkan the natural self-confidence kan (^^). Simbok memang tidak menerima pendidikan seperti Mbah Marto dan Ibu, tapi Simbok menerima kebebasan pengalaman dari Mbah Kakung yang saya yakin berimbas luar biasa. Sebagai contohnya, Simbok, saya, dan 2 sepupu saya dikirim ke rumah tante saya di Jakarta selama seminggu. Katanya sih untuk liburan kenaikan kelas kami bertiga yang masih duduk di bangku SD dan Simbok bertugas menemani. Tapi saya yakin, Mbah Kakung ingin seminggu itu juga masa refreshing untuk Simbok sekaligus nengok anak perempuannya yang tinggal di ibukota. Simbok bilang, “seneng banget dolan ming TMII karo Monas” (senang sekali jalan-jalan ke TMII dan Monas). Jauh daripada itu, saya yakin Simbok bahagia dan ayem setelah melihat kehidupan harian anaknya. Kebiasaan nengok anak yang tinggal jauh dari rumah ini jadi kebiasaan Ibu saya: waktu kakak saya kerja di Surabaya dan Jogja, dan waktu saya dan adik saya di Jogja.

Foto diambil saat piknik ke salah satu tempat ski di Hokkaido, Jepang.

Semangat Mbah Kakung untuk mengemansipasi Simbok dan Ibu melecut semangat Bapak saya yang lulusan SD untuk menyekolahkan anak-anaknya, termasuk saya. Target Bapak saya adalah sampai kuliah. Secara ekonomi memang tidak mudah, tapi secara mental pasti jauh lebih tidak mudah. Hasil panenan tembakau dan bawang putih, dan hasil ternak babi mengalir ke sekolah. Tidak ada wujud kesuksesan panen dan ternak yang kasat mata di rumah kami, memberi gap secara materiil dengan lingkungan sekitar. Tapi resolusi tinggi dan kuat Bapak untuk masa depan anak-anak tetap lurus, seperti yang sudah saya tuliskan di artikel lain berjudul “Sekolah” (Sekolah | CAKRAMANGGILINGAN (wordpress.com)). Meski begitu, Bapak selalu rendah hati pada kami dengan bilang, “men Bapak karo Ibu pengalaman nyekolahna anak nang perguruan tinggi” (biar Bapak dan Ibu berpengalaman menyekolahkan anak sampai perguruan tinggi). “Supaya berpengalaman” kemudian menjadi jimat penyemangat bagi saya. Jimat ini selalu manjur terlebih saat saya ragu mencoba sesuatu, termasuk saat mau mendaftar master ke Jepang. Jimat yang sama saya terima dari Mbah Kakung secara langsung melalui pesan beliau, “ora papa. Mangkat mrana ming Jepang. Men karo pengalaman” (gpp. Berangkatlah ke Jepang. Supaya berpengalaman). Jimat itu sekaligus berkah doa bagi saya untuk berangkat.

Foto diambil sehari sebelum saya dan Atsushi ke Indonesia untuk lamaran.

Ojiisan juga memberikan kebebasan pengalaman pada Obaasan (istri dari Ojiisan). Ojiisan dengan bangga bilang, “kalau Obaasan tidak menikah denganku, pasti dia jadi novelist ternama”. Selepas Obaasan meninggal, saya dapat cerita kalau Obaasan hobi membaca novel, bahkan setelah menikahi Ojiisan. Kebebasan pengalaman yang luar biasa yang didapat dari suami pada jamannya (1950-an/1960-an). Ojiisan merupakan anak laki-laki sulung di keluarga. Keinginan beliau untuk melanjutkan jenjang pendidikan terpaksa diurungkan karena himpitan situasi perang dunia ke-2 saat itu. Maka, beliau sangat mendukung anak dan cucu yang berniat dan sungguh-sungguh mau sekolah, termasuk saya. Ojiisan seolah tahu ketidakmudahan saya waktu mengenyam pendidikan tingkat PhD, maka beliau selalu bilang, “ボチボチでいいよ” (bochi-bochi de ii yo_baca: tidak perlu tergesa-gesa). Pesan beliau menjadi jimat supaya saya tidak lupa berhenti di tengah kesibukan.

Foto diambil saat saya mulai bangkit dari kelelahan batin.

Sosok pria di balik emasipasi saya yang lain adalah Atsushi, suami saya. Keputusan kami untuk saya masuk PhD menjadi pergunjingan sebab saya dirasa melangkahi suami dan mengacuhkan kodrat wanita. Melangkahi suami karena mendahului Atsushi yang belum punya gelar PhD. Mengacuhkan kodrat wanita sebab kami belum punya momongan. Tidak mudah, tapi kami berdua sepakat membagi rasa untuk menerima gunjingan itu. Atsushi bilang, “you’re here, beside me. We are walking together, no matter what title we have”, yang tidak sekedar kata-kata tapi diwujudkannya dalam perlakuannya pada saya.

Atsushi adalah suami dan pahlawan emansipasi bagi saya, seperti Mbah Kakung bagi Simbok, Ojiisan bagi Obaasan, dan Bapak bagi Ibu.

Leave a comment

Information

This entry was posted on April 21, 2021 by in Special.