I am 33

Hari ini aku diingatkan oleh tanggalan, bahwa aku dilahirkan pada tanggal ini dengan sehat dan sempurna. Di sela-sela istirahat siangku di lahan penelitianku, aku termenung, membayangkan raut wajah Ibuku yang melahirkanku. Dari seorang sahabat yang baru saja kehilangan buah hatinya, aku belajar bahwa seorang Ibu sudah mengantongi resiko-resiko kehamilan dan melahirkan sejak jabang bayi mulai terbentuk di rahimnya hingga kelahirannya. Maka, adakah kata yang lebih dari sekedar “terima kasih” untuk Ibuku?

Raut wajah Bapak kemudian berganti. Dulu Bapak berambut hitam. Sekarang warna hitam legam itu sudah luntur. Aku pernah dipeluknya sekali, saat rumah kami dulu kebobolan maling. Aku juga pernah sekali memeluk beliau, seperempat jam sebelum acara midodari-ku dimulai. “Laki-laki yang paling ganteng buatku ya Bapakku,” selalu demikian aku bilang, membuat suamiku iri. Dan aku yakin, Bapakku juga selalu cemburu pada suamiku ^^ Ah, Bapak.

Kelahiranku pastilah sangat dinantikan oleh mereka. Aku tumbuh. Menjadi seperti kanak-kanak ketika masih kecil. Berperilaku seperti pada umumnya remaja. Lalu merasa galau akan cinta pertama seperti juga yang lain. Merasa kangen dan home-sick saat awal-awal kuliah. Menjadi tukang tagih semesteran. Lalu menjadi pengelana di negeri orang. Saat mereka mengantarkanku pada suamiku, mereka menangis haru dan bahagia. “Anakku bertambah satu, matur sembah nuwun, Gusti,” Ibuku bersyukur pada Yang Kuasa.

Saat ini, saat moment ini, aku diingatkan oleh alam kalau aku bukan lagi kanak-kanak, remaja, anak putih abu-abu atau anak kos-kosan. Aku sudah 33 tahun. Maka sudah seharusnya pula aku berperilaku, bersikap dan berpikiran seperti seorang bijak berusia 33 tahun.

Wahai alam dan seisinya, terima kasih telah memliharaku selalu. Lalu, maafkan segala kesalahanku. Jika kau tak memaafkanku, tak mengapa. Sebab aku tahu, mungkin salahku tak termaafkan. Dan aku berterima kasih padamu. Sebab dengan kau tak memaafkanku, kau memberiku pelajaran supaya aku tak membuat kesalahan lagi dan berendah hati.